Kalau mati dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya kita terjajah.
-Pramoedya Ananta Toer-
Kalimat ini sudah berkali – kali kembali dalam pikiran saya. Itu sebabnya saya mencoba menulis tentang ini. Kalimat BERANI ini cukup “hidup” dalam pikiran saya. Tapi sebenarnya apa berani itu?
Apa dengan memasang badan dan meneriaki semua orang maka itulah keberanian? Atau ketika tidak mempunyai rasa takut itulah berani?
Hidup rasanya selalu mempertemukan kita dengan sesuatu yang berpasangan. Termasuk rasa berani dan rasa takut. Tapi sekali lagi “rasa” yang berpasangan ini tidak mempunyai indicator yang jelas. Tidak memiliki pemahaman yang rigid. Tidak ada yang pernah bisa menjelaskan secara verbal apa pengertian takut dan berani itu sendiri.
Saya punya pengalaman lagi tentang rasa takut. Ada seorang teman sewaktu sekolah di SD dulu, dia orangnya cukup penakut. Tapi keluarganya cukup berada, jadi dia bisa membawa uang saku yang ‘lebih’ di antara teman – teman sekelas pada waktu itu. Tapi karena dia bisa dibilang penakut, maka dia harus menyetor hampir setengah dari uang jajannya ke salah satu teman sekelas juga yang cukup jawara di kelas (bukan juara).
Pada suatu hari, teman kita yang penakut ini (sebut saja A) membeli mainan hasil dari membujuk orang tua selama berbulan – bulan. Dan sehari setelah membelinya, dia membawanya ke sekolah untuk dipamerkan. Kami anak – anak yang hanya dari keluarga pas – pasan pastinya jadi “kampungan” melihat mainan yang seperti itu. Sehingga kami hanya bisa melihat dan menonton si A memainkan mainan barunya. Waktu itu teman kita yang jawara (sebut saja si B) tidak masuk sekolah, sehingga kami dapat kesempatan untuk meminjam mainan ini seorang 5 menit dengan membayar Rp 100,-.
Keesokan harinya, kami masih juga mengantri untuk meminjam mainan ini karena sudah terlanjur membayar kemarin tapi waktu sekolah telah selesai. Sehingga kami dijanjikan akan dipinjami lagi hari ini. Tetapi mungkin ketidakberuntungan berpihak pada kami. Si B masuk sekolah sehingga kami harus merelakan uang jajan yang kemarin hangus karena Si B menyita mainan yang ‘berharga’ ini dari kami. Dia memainkan mainan ini seharian penuh di sekolah bahkan waktu guru sedang mengajar. Alhasil mainannya rusak.
Pada jam pulang sekolah, Si B mengembalikan mainan ini pada Si A dalam kondisi yang sudah tidak bisa dimainkan lagi. Si A karena terlalu sayangnya pada mainannya meminta ganti rugi terhadap Si B atas kerusakan tersebut. Mungkin dia lupa kalau Si B ini murid jawara di kelas kami. Si A mendesak sampai akhirnya mereka berdua berkelahi.
Bukan perkelahiannya yang mengagetkan. Bukan juga hasil kemenangan Si B yang sudah pasti terhadap Si A yang membuat kasihan. Hanya saja saya heran kenapa Si A yang sehari – harinya takut terhadap Si B bahkan menyetor “Uang Keamanan” sampai berani melawan pada hari itu. Kenapa tidak dari dulu saja dia melawan supaya tidak dirugikan banyak? Kenapa hanya hari ini?
Beberapa tahun kemudian saya membaca sebuah cerita tentang keberanian juga. Dan setelah membaca satu paragraph, saya mengerti kenapa pada saat itu orang yang penakut pun bisa melawan orang yang sehari – hari ditakutinya. Bukan tentang kemampuan fisik, bukan juga tentang sugesti super-hero ( waktu itu anak kecil suka mencontoh super-hero). Tapi karena sebuah keyakinan psikologis untuk membela dirinya, membela hak – haknya, membela apa yang seharusnya dibela. Dan paragraph yang tertulis di buku itu bunyinya kira – kira seperti ini :
“Keberanian bukanlah tidak mempunyai rasa takut. Tetapi mampu menghadapi rasa takut itu dan merubahnya menjadi kekuatan yang besar. Setiap orang wajib memiliki rasa takut. Karena tanpa rasa takut tidak akan muncul kewaspadaan. Karena keberanian tanpa kewaspadaan tidak jauh berbeda dengan kenekatan. Keberanian sejati datang dari rasa ingin membela kata nurani. Bukan dari keinginan untuk menindas dan mempermainkan.”
Dan bagaimana nasib Si A setelah itu? Dia tidak pernah lagi dignggu oleh Si B. tidak pernah lagi harus menyetor uang jajannya. Tidak pernah lagi harus meminjamkan mainannya pada sang jawara. Inilah yang membuat saya yakin dengan kalimat Bapak Pram tentang keberanian yang saya tulis di atas tadi. Ketika kita memiliki keberanian, niscaya kita terhindar dari keterjajahan.
Makassar, 3 Juni 2009
No comments:
Post a Comment